HTML to PDF in Clojure

Some months ago our colleague Jose wrote a post about our experience constructing pdf’s from clojure code. That post got some feedback, and suggestions like the one shared by Dmitri Sotnikov, the…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Jangan Terlalu Over dalam Thinking

#jurnal ke-5

Semua orang punya fase dimana mereka harus memutuskan suatu pilihan, pun semua orang akan memasuki fase setelahnya yaitu bertanggung jawab atas pilihannya. Semua orang akan keluar dari fase ini secepatnya, ada yang keluar dengan kepalan tangan yang kuat, namun tak jarang ada yang tertunduk lesu. Tidak ada yang berkembang. Hanya kesedihan.

Pun saya merasakan hal yang sama. Sekitar 2 tahun kebelakang hingga sekarang di usia kepala 2, banyak hal-hal yang menuntut saya untuk melakukan perubahan pola pikir, banyak alur hidup yang bisa dipilih untuk dinikmati.

Pada akhirnya, hidup seperti labirin yang luas dimana akan berujung pada hal-hal yang berbeda, tergantung bagaimana kita memetakan labirin itu.

Mungkin hal ini pun berlaku kepada teman-teman saya. Hal semacam ini wajar terjadi, mengingat di fase inilah masing-masing dari kita belajar menentukan “apa sih yang akan kita ambil kedepannya?”

Kemudian, banyak dari kita yang memutuskan untuk mengambil satu langkah yang sangat jauh, mencoba naik ke permukaan secepat mungkin untuk unjuk jati diri. Menyelam sedalam mungkin mencari apa yang belum kita ketahui. Kita menciptakan kompetisi sendiri perihal memaknai hidup dan semua orang berhak mendapatkan peringkatnya masing-masing.

Namun secara tidak sadar, akhirnya saya seperti menciptakan klasemen sendiri. Saya tempatkan seorang teman di puncak ketika melihat ia berhasil menghasilkan sesuatu, menjadi narasumber di berbagai acara, menulis sesuatu yang mengubah sudut pandang manusia, naik diatas panggung unjuk retorika, mewakilkan almamaternya kemana-mana, menjadi pimpinan tertinggi sebuah organisasi. Semua hal-hal hebat yang akhirnya menyudutkan saya untuk berkembang lalu pada akhirnya jatuh dijurang dengan seribu pertanyaan tentang “saya sudah melakukan apa? Kenapa begini begini saja? Tidak punya bakatkah?”

Pada akhirnya kita hanya sibuk berasumsi kalau semua orang hebat sedangkan kita tidak. Semua orang memiliki apa yang ingin kita miliki. Semua orang ada di lajur yang benar sedangkan kita di lajur yang salah. Semua orang berhasil mencapai ujung labirin ketika kita hanya sibuk memandang langit dari tengah labirin seraya berkhayal suatu saat bisa menemukan ujung labirinnya. Dan semua orang berkarya sedangkan kita sibuk memandangi karyanya.

Saya pun pernah merasakan hal serupa. Perihal seperti apa masa depan yang akan saya ciptakan pun sering jadi bahan pikiran sebelum tidur. Lalu kadang saya beranikan untuk cari jawaban tapi kadang nihil, ujungnya hanya 'overthinking' kemudian sibuk memandangi karya manusia lain. Sibuk bermimpi ingin sekali menjadi persis seperti mereka. Sama hebatnya, dengan karya-karya luar biasa. Bahasa tenarnya mungkin ‘insecure’.

Tapi menurut saya insecure ini jadi salah satu fase yang memang kita harus hadapi. Analoginya seperti 'level up' dalam tiap permainan. Untuk naik ke tahap yang lebih tinggi dalam fase kehidupan, kita butuh untuk 'khawatir' terhadap diri sendiri. Kita memainkan peran kita, kita belajar untuk terus berkembang, kita khawatir terus kalah dan pada akhirnya kekhawatiran kita lah yang membantu kita mengambil langkah selanjutnya. Ibarat kita melihat sebuah batu besar, pilihannya hanya 2. Kita sandung batunya, atau kita hindari batunya. Pilihannya hanya 2, kita akan terus terjebak dengan pikiran sendiri, atau kita berusaha berlayar sebaik mungkin lalu temukan pulau terbaik kita untuk unjuk diri nantinya.

Akan terus seperti itu fase nya, ketika berhasil mengatasi suatu pikiran, maka akan muncul hal-hal rumit lainnya, kita khawatir lagi dan lagi, namun kabar baiknya, kita sudah paham bagaimana bersikap. Kita paham bahwa rasa khawatir kita harus menjadi rasa untuk mengembangkan diri. Pada akhirnya saya memandang rasa 'insecure' itu memang suatu fase yang harus ditempuh, wajib. Karena kemudian kita akan berkembang lewat rasa khawatir. Pertunjukan terbaiknya adalah konsep berpikir kita yang akhirnya terbentuk karena sering khawatir. Cemas ketika tidak berkarya, kemudian mengolah cemas menjadi sebuah karya dan selamat, level up!

Kalau saja semua orang ditakdirkan untuk keluar dari ujung labirin yang sama, maka kemudian siapa yang akan menjamin kalau kita akan saling mengajari satu sama lain. Toh kita memetakan hal yang sama maka untuk apa kita diciptakan berbeda?. Dititik ini lah saya menyadari bahwa lajur setiap manusia ternyata berbeda, armada yang kita tumpangi pun berbeda. Beberapa ada yang dibekali dengan intuisi yang tingggi, beberapa dibekali dengan akal yang cerdas. Semua lahir dengan kehebatannya masing-masing. Dengan harapan nantinya kita bisa bertukar motivasi untuk terus hidup. Semakin naik usia kita, kita semakin bertanggung jawab dengan lajur yang kita miliki.

Kita berada di dalam sebuah ruangan yang luas dengan jendela yang tidak terhitung jumlahnya. Diluar sana, ada pemandangan yang sangat indah menyilaukan mata. Masing-masing dari kita cemas, sibuk memikirkan jendela mana yang ingin dilihat. Namun, rasa cemas itu kita olah jadi keberanian untuk memilih. Kemudian masing-masing dari kita memilih jendela mana yang ingin kita gunakan untuk melihat pemandangan itu. Berkumpulnya kita di ruangan ini adalah sebuah takdir, namun jendela mana yang ingin kita lihat adalah sebuah pilihan. Maka melihat lah sesuai jendela yang kalian inginkan. Berkembang lah dengan pilihan masing-masing.

Karena pada akhirnya kita bukan sekumpulan manusia yang mencita-citakan hal yang sama. Kita bukan domba-domba yang digembalakan ke peternakan yang sama. Kita adalah representasi dari cara kita berpikir. Saya adalah ujung labirin yang akan saya tuju, menjadi sebaik-baiknya versi dari diri saya. Untuk apa menjadi sama kalau ternyata kita luar biasa.

Jangan terlalu over dalam thinking. Jangan terlalu cemas dengan manusia lain. Menjadi yang terbaik dengan berlayar di kapal sendiri. Jangan terlalu sibuk memerhatikan nahkoda kapal lain, namun jadilah nahkoda yang disanjung anak kapalnya.

Add a comment

Related posts:

Computers are like your dog. Coding explained

Writing code is like speaking with your dog. They can understand only a few simple words. They might understand ‘sit’, ‘stay’, ‘fetch’ and ‘drop it’.

Is Python Developer A Good Career?

Python Developer has recently become a job in the industry. Every day I meet many curricula of Python developers. The demand for Python programmers at all levels in the IT industry has increased. The…

What Are The International Cryptocurrency Payment Gateway?

Cryptocurrency is a relatively new alternative to traditional ways of payment. Sometimes, especially if we consider offshore companies, traditional payments are not very convenient and it makes sense…